Sunday, November 4, 2018

payung merah hati


Lalu aku pun sadar, seharusnya dari awal aku tidak terlalu berharap bisa bernaung di bawah payung merah hati itu lagi bersama dirinya.


____________________

“Belum pulang, Lia?”

Aku otomatis menoleh ketika namaku dipanggil. Aku mendapati seorang cowok berdiri di sampingku, tersenyum tipis dengan payung merah hati dalam genggaman. Dia teman sekelasku, Dandy namanya.

Aku pun memalingkan wajah ke langit yang mendung. “Masih hujan. Aku gak ingat bawa payung,” jawabku singkat.

“Ikut payungku yuk? Aku antar.”

Menoleh dengan cepat adalah respons pertama yang kuberikan padanya. Aku tidak terbiasa akrab dengan cowok, dan rasa-rasanya ini pertama kalinya aku diajak berjalan berdua oleh seorang cowok.

Bagaimana kalau nantinya kami akan berakhir sama-sama canggung? Apa yang harus kukatakan untuk memecah keheningan di tengah perjalanan nanti? Tidak mungkin, ‘kan? Kami akan berdiam-diam saja tanpa membuka topik pembicaraan apapun?

“Gak usah.”

“Gak papa! Ayo! Bentar lagi mau magrib loh!”

“Nanti ngerepotin.”

“Ngerepotin apanya? Rumahmu di komplek sana itu, ‘kan? Rumahku dekat situ.” Dia masih saja bersikeras pada ajakannya. Lama-lama aku jadi tidak enak juga menolaknya.

“Uh, okelah.”

Dia bahkan tidak malu-malu menyembunyikan perasaan senangnya ketika akhirnya aku menyerah dan ikut pulang bersamanya. Dia tersenyum lebar, dan membawaku perlahan ke bawah naungan payung merah hatinya. Kami pun berjalan beriringan, keluar dari lingkungan sekolah yang ditemani rintik-rintik hujan.

Sebelum aku menyesali keputusanku untuk mengabulkan ajakannya, rupanya Dandy bersikap supel di sepanjang jalan. Aku baru ingat, Dandy memang terkenal memiliki banyak teman di kelas. Tentu saja itu berarti, dia memang orang yang bisa menyesuaikan diri dengan siapapun. Tapi kenapa dia mau repot-repot memberikan tumpangan payung padaku yang mungkin saja kehadirannya bahkan hampir tidak disadari oleh semua orang di kelas?

“Natalia? Kok diam?”

“Uh? Kenapa?” Aku terkejut. Sial, aku keasikan melamun.

“Gak suka ya, aku ajak pulang bareng?”

“Uhm, bukannya gitu. A-aku gak biasa jalan bareng cowok.”

“Ohh, gitu ya?” Dia menggaruk belakang leher dengan tangan yang bebas, dan mengalihkan arah pandangan matanya sejenak ke arah lain sebelum menyambung perkataannya lagi, “Sama dong.”

“Hah?”

“Aku juga gak biasa jalan bareng cewek.”

“Serius?”

Kalau kuingat-ingat lagi, aku memang sering melihatnya berteman dengan semua orang. Tapi apa benar dia yang pastinya juga dikenal baik oleh cewek, malah tidak pernah berjalan bersama mereka? Satu kali pun?

“Iya, Lia.”

Guyuran hujan yang lembut menjadi lantunan melodi yang mengiringi langkah kami berdua. Aku diam-diam melirik padanya. Tapi aku terkejut karena dia tiba-tiba memalingkan wajahnya padaku, jadi aku segera menunduk.

“Ada apa, Lia?” tanyanya. Dia terdengar khawatir di kalimat barusan.

“Gak ada pa-pa,” jawabku pelan. Aku pun cepat-cepat mencari topik pembicaraan. “Oh, iya. Payungmu warnanya merah hati ya?”

“Eh, namanya merah hati ya? Aku cuma tau namanya merah sih.”

“Merah itu banyak jenisnya, tauu.”

“Hehe, iya deh. Cewek mah, serba tau.”

Loh? Ada apa denganku? Kenapa aku merasa aneh saat mendengar suaranya barusan?
Tuh, ‘kan. Aku jadi merasa canggung sekarang.

Tanpa menghentikan langkah kaki, aku pun memerhatikan jalan raya yang dilalui oleh beberapa mobil dan sepeda motor. Suaranya diselingi oleh cipratan air dari kubangan di jalan, dan juga para pejalan kaki yang berpayung seperti kami.

“Lia, Lia. Lihat itu,” sela Dandy menunjuk suatu arah. Aku otomatis mengalihkan pandanganku mengikuti isyaratnya.

“Apa?” Aku bergumam karena tidak menemukan apa yang dia maksud. Alih-alih langsung menjawab, dia malah terkikik pelan.

“Sandalnya hanyut! Hehe.”

“Yaelah, kukira apa.”

Kami kembali melanjutkan perjalanan kami. Baru beberapa langkah, Dandy pun memanggilku, “Natalia.”

“Ya?”

“Aku baru sadar kamu cantik ya.”

“Hah?” Aku tercengang. Apa maksudnya tiba-tiba menggombaliku seperti itu?

“Iya, kamu cantik.”

“Buat apa?” Bukannya berterima kasih, aku malah bertanya. Aku tahu responsku itu bodoh sekali. Tapi, hei! Aku gugup!

Buat apa? Aku cuma pengen memuji kamu kok.” Dia tersenyum lebar memandangi wajahku. “Lihat. Wajahmu merah. Sama kayak payungku ini.”

Oh, tidaakkk.

“Sudahlah, Dandy!”

“Hehe....”

Akhirnya kami sampai di depan rumahku. Aku melempar basa-basi, “Rumahmu di mana?”

“Di pertigaan sini, belok kanan. Rumahku gak terlalu jauh kok.”

“Ohh.”

Sebelum dia pamit pulang, dia berkata, “Besok-besok, kita pulang bareng lagi ya. Nanti aku bawa lagi payungku ini.”

“Uhmm, oke.”

Tanpa aku sadari sepenuhnya, aku berharap ucapannya itu benar-benar terjadi. Aku... ingin pulang bersamanya lagi besok.

Jadi keesokan harinya, aku sengaja tidak membawa payung. Karena menurut prakira cuaca, hari ini seharusnya hujan turun sepulang sekolah. Dan aku berpikir, mungkin saja dengan cara ini, aku bisa bertemu lagi dengannya. Ah, aku mulai merindukan Dandy dan payung merah hatinya itu.

Ketika sosoknya telah tampak dari kejauhan di mataku, aku nyaris saja memanggil namanya, “Dan—!”

Tapi urung kulakukan saat aku melihat rupanya dia tidak berjalan sendiri. Dia bersama orang lain. Seorang cewek yang tidak kukenal.

“Dandy, kamu beneran mau nganterin aku pulang?”

“Iya, Sha. Rumahmu yang ada di situ, ‘kan? Aku sekalian mau mampir ke rumah teman.”

Lalu aku pun sadar, seharusnya dari awal aku tidak terlalu berharap bisa bernaung di bawah payung merah hati itu lagi bersama dirinya.

____________________

Pernah dilampirkan sebagai entri untuk lomba cipta cerpen bertemakan "Payung" yang diadakan oleh Penerbit Harasi pada Januari 2018.

No comments:

Post a Comment