Lalu aku pun sadar, seharusnya dari awal aku tidak terlalu berharap bisa bernaung di bawah payung merah hati itu lagi bersama dirinya.
____________________
“Belum pulang, Lia?”
Aku otomatis menoleh ketika
namaku dipanggil. Aku mendapati seorang cowok berdiri di sampingku, tersenyum
tipis dengan payung merah hati dalam genggaman. Dia teman sekelasku, Dandy
namanya.
Aku pun memalingkan wajah ke
langit yang mendung. “Masih hujan. Aku gak ingat bawa payung,” jawabku singkat.
“Ikut payungku yuk? Aku antar.”
Menoleh dengan cepat adalah
respons pertama yang kuberikan padanya. Aku tidak terbiasa akrab dengan cowok,
dan rasa-rasanya ini pertama kalinya aku diajak berjalan berdua oleh seorang
cowok.
Bagaimana kalau nantinya kami
akan berakhir sama-sama canggung? Apa yang harus kukatakan untuk memecah
keheningan di tengah perjalanan nanti? Tidak mungkin, ‘kan? Kami akan
berdiam-diam saja tanpa membuka topik pembicaraan apapun?
“Gak usah.”
“Gak papa! Ayo! Bentar lagi mau
magrib loh!”
“Nanti ngerepotin.”
“Ngerepotin apanya? Rumahmu di
komplek sana itu, ‘kan? Rumahku dekat situ.” Dia masih saja bersikeras pada
ajakannya. Lama-lama aku jadi tidak enak juga menolaknya.
“Uh, okelah.”
Dia bahkan tidak malu-malu
menyembunyikan perasaan senangnya ketika akhirnya aku menyerah dan ikut pulang
bersamanya. Dia tersenyum lebar, dan membawaku perlahan ke bawah naungan payung
merah hatinya. Kami pun berjalan beriringan, keluar dari lingkungan sekolah
yang ditemani rintik-rintik hujan.
Sebelum aku menyesali keputusanku
untuk mengabulkan ajakannya, rupanya Dandy bersikap supel di sepanjang jalan.
Aku baru ingat, Dandy memang terkenal memiliki banyak teman di kelas. Tentu
saja itu berarti, dia memang orang yang bisa menyesuaikan diri dengan siapapun.
Tapi kenapa dia mau repot-repot memberikan tumpangan payung padaku yang mungkin
saja kehadirannya bahkan hampir tidak disadari oleh semua orang di kelas?
“Natalia? Kok diam?”
“Uh? Kenapa?” Aku terkejut. Sial,
aku keasikan melamun.
“Gak suka ya, aku ajak pulang
bareng?”
“Uhm, bukannya gitu. A-aku gak
biasa jalan bareng cowok.”
“Ohh, gitu ya?” Dia menggaruk
belakang leher dengan tangan yang bebas, dan mengalihkan arah pandangan matanya
sejenak ke arah lain sebelum menyambung perkataannya lagi, “Sama dong.”
“Hah?”
“Aku juga gak biasa jalan bareng
cewek.”
“Serius?”
Kalau kuingat-ingat lagi, aku
memang sering melihatnya berteman dengan semua orang. Tapi apa benar dia yang
pastinya juga dikenal baik oleh cewek, malah tidak pernah berjalan bersama
mereka? Satu kali pun?
“Iya, Lia.”
Guyuran hujan yang lembut menjadi
lantunan melodi yang mengiringi langkah kami berdua. Aku diam-diam melirik
padanya. Tapi aku terkejut karena dia tiba-tiba memalingkan wajahnya padaku,
jadi aku segera menunduk.
“Ada apa, Lia?” tanyanya. Dia
terdengar khawatir di kalimat barusan.
“Gak ada pa-pa,” jawabku pelan.
Aku pun cepat-cepat mencari topik pembicaraan. “Oh, iya. Payungmu warnanya merah
hati ya?”
“Eh, namanya merah hati ya? Aku
cuma tau namanya merah sih.”
“Merah itu banyak jenisnya,
tauu.”
“Hehe, iya deh. Cewek mah, serba
tau.”
Loh? Ada apa denganku? Kenapa aku
merasa aneh saat mendengar suaranya barusan?
Tuh, ‘kan. Aku jadi merasa canggung
sekarang.
Tanpa menghentikan langkah kaki,
aku pun memerhatikan jalan raya yang dilalui oleh beberapa mobil dan sepeda
motor. Suaranya diselingi oleh cipratan air dari kubangan di jalan, dan juga
para pejalan kaki yang berpayung seperti kami.
“Lia, Lia. Lihat itu,” sela Dandy
menunjuk suatu arah. Aku otomatis mengalihkan pandanganku mengikuti isyaratnya.
“Apa?” Aku bergumam karena tidak
menemukan apa yang dia maksud. Alih-alih langsung menjawab, dia malah terkikik
pelan.
“Sandalnya hanyut! Hehe.”
“Yaelah, kukira apa.”
Kami kembali melanjutkan
perjalanan kami. Baru beberapa langkah, Dandy pun memanggilku, “Natalia.”
“Ya?”
“Aku baru sadar kamu cantik ya.”
“Hah?” Aku tercengang. Apa
maksudnya tiba-tiba menggombaliku seperti itu?
“Iya, kamu cantik.”
“Buat apa?” Bukannya berterima
kasih, aku malah bertanya. Aku tahu responsku itu bodoh sekali. Tapi, hei! Aku
gugup!
“Buat apa? Aku cuma
pengen memuji kamu kok.” Dia tersenyum lebar memandangi wajahku. “Lihat.
Wajahmu merah. Sama kayak payungku ini.”
Oh, tidaakkk.
“Sudahlah, Dandy!”
“Hehe....”
Akhirnya kami sampai di depan
rumahku. Aku melempar basa-basi, “Rumahmu di mana?”
“Di pertigaan sini, belok kanan.
Rumahku gak terlalu jauh kok.”
“Ohh.”
Sebelum dia pamit pulang, dia
berkata, “Besok-besok, kita pulang bareng lagi ya. Nanti aku bawa lagi payungku
ini.”
“Uhmm, oke.”
Tanpa aku sadari sepenuhnya, aku
berharap ucapannya itu benar-benar terjadi. Aku... ingin pulang bersamanya lagi
besok.
Jadi keesokan harinya, aku
sengaja tidak membawa payung. Karena menurut prakira cuaca, hari ini seharusnya
hujan turun sepulang sekolah. Dan aku berpikir, mungkin saja dengan cara ini, aku
bisa bertemu lagi dengannya. Ah, aku mulai merindukan Dandy dan payung merah
hatinya itu.
Ketika sosoknya telah tampak dari
kejauhan di mataku, aku nyaris saja memanggil namanya, “Dan—!”
Tapi urung kulakukan saat aku
melihat rupanya dia tidak berjalan sendiri. Dia bersama orang lain. Seorang
cewek yang tidak kukenal.
“Dandy, kamu beneran mau
nganterin aku pulang?”
“Iya, Sha. Rumahmu yang ada di
situ, ‘kan? Aku sekalian mau mampir ke rumah teman.”
Lalu aku pun sadar, seharusnya
dari awal aku tidak terlalu berharap bisa bernaung di bawah payung merah hati
itu lagi bersama dirinya.
____________________
Pernah dilampirkan sebagai entri untuk lomba cipta cerpen bertemakan "Payung" yang diadakan oleh Penerbit Harasi pada Januari 2018.
No comments:
Post a Comment